Ketika orang berbicara tentang kota dan perkotaan, yang biasa terlintas dalam benak mereka adalah aneka rona kepadatan: bangunan, lalu lintas, manusia, barang dan lain-lain. Bangunan-bangunan di kota besar dan kota raya atau metropolitan semakin berjudel dan semakin menjulang tinggi. Kepadatan lalu lintas semakin nyata menyebabkan kemacetan dimana-mana. Sehinga ada yang mengatakan bahawa jalan raya di ibu kota nyaris seperti tempat parkir terpanjang di dunia. Kepadatan manusianyapun tidak kalah mengerikan, berakibat pada merebaknya pemukiman kumuh, baik dalam bentuk perkampungan legal (slums) maupun perkampungan kumuh liar (aquatters).
Thema ini sangat sesuai dengan
apa yang kita butuhkan sebagai acuan untuk kota-kota di Indonesia kiranya lebih
tepat bila orientasinya lebih ditekankan pada penciptaan kota yang manusiawi
(humanopolis) dan kota yang bersahabat dengan lingkungan (ecopolis). Agar makna
dari buku ini tidak melenceng dari maksud yang sebenarnya, maka sebaiknya
point-poinnya diringkas langsung dari sumber bukunya, seperti berikut ini.
Menurut Prof. Ir. Eko Budiharjo, MSc dalam kalimat pengantarnya pada halaman pertama dari buku di atas, bahwa dalam Lingkungan perumahan dan pemukiman yang baru di berbagai kota besar di indonesia, jarang sekali pengusaha real estate yang menyediakan tanah untuk kuburan dan sekaligus juga tempat-tempat ibadah. Yang mereka bangun biasanya adalah rumah, rumah dan rumah-toko yang menjadi ruko, atau rumah-kantor (rukan), dan sarana lain yang lebih menguntungkan secara finansial. Pemikiran mereka lebih tertuju kepada aspek ekonomi komersial ketimbang aspek sosio-ekonomi.
Mengenai pembangunan kota
berkelanjutan, kiranya perlu diresapi, direnungkan dan dihayati secara mendalam
tentang Prinsip Sapta-E: Pertama, menyangkut aspek environment atau ecology
yang merupakan faktor penting
tetapi sering terabaikan dalam perencanaan dan pembangunan kota. Itu pula
sebabnya kenapa kota-kota kita semakin pengap, panas, gersang di musim kemarau,
tetapi warga kota selalu aja menghadapi musibah berupa banjir di musim hujan.
Ruang terbuka hijau atau ruang publik semakin melenyap, garis pantai hilang,
akses terhadap pemandangan, keindahan, fasilitas dan aneka kenyaman lain seolah
hanya menjadi hak prerogatif kaum berpunya semata.
Kedua, berkaitan dengan employment
atau economy,
baik di sektor formal (bagi yang berpendidikan) maupun terutama sekali sektor
informal (bagi yang kurang berpendidikan). Selama ini, dalam pembangunan
kota-kota di Indonesia terkesan kuat bahwa sektor formal lebih diprioritaskan
ketimbang sektor informal. Jarang sekali perencanaan kota atau penentu
kebijaksanaan menetapkan sejak awal
rencana kota yang mereka buat. Akibatnya, para pedagang kaki lima, pedagang
asongan, dorongan, lesehan dan lain-lain menempati ruang kota yang tersisa (left-over-urban space) yang menimbulkan rasa
tidak aman dalam bekerja. Merka mesti siap digusur sewaktu-waktu oleh aparat.
Ketiga, lazim disebut dengan engagement
atau di Indonesia lebih dipahami dengan istilah populer partisipasi.
Keterlibatan dari warga kota dan segenap stokeholders, merupakan prasyarat dari
pembangunan kota yang berkelanjutan. Melalui partisipasi masyarakat dan dunia
usaha, pemerintah kota juga akan lebih diringankan bebannya. Paradigma lama
pemerintah sebagai pemasok atau penyedia (provider) mesti diubah dengan
paradigma baru, pemerntah sebagai fasilitator atau pemberdaya (enabler). Shakespeare
pun dalam salah satu bukunya mengemukakan “What is a city but its people?”
Apakah artinya kota tanpa kiprah yang dinamis dari warga atau penduduknya.
Keempat, berkaitan dengan equity
yang berarti persamaan hak, kesetaraan atau keadilan. Seluruh sumber
daya perkotaan mestinya dapat dijangkau oleh segenap lapisan masyarakat tanpa
terkecuali. Laut, pantai, bukit, gunung
merupakan milik publik yang tidak seyogianya dikuasai oleh segelintir kelompok
elite saja, seperti yang terjadi saat ini di banyak kota dan daerah.
Kelima, menyangkut energy
conservation, yang dewasa ini tampak sangat terabaikan. Prinsip
konservasi energi menuntut perhatian yang lebih besar terhadap sarana-prasarana
transportasi umum massal seperti kereta api, light Rail transit (LERT) atau
Mass Rapit Transit (MRT). Sampai sekarang yang lebih banyak dibangun oleh
permerintah adalah jalan tol, jalan lingkar, jalan arteri, jalan bebas hambatan
dan lain-lain yang notabene lebih banyak menwadahi kepentingan pemilik
kendaraan pribadi.
Keenam, berkaitan dengan etika
membangun atau development ethics , yang banyak sekali dilanggar terutama
dalam pembangunan perumahan berskala besar atau pembangunan kota baru.
Pengurugan tambak, pembongkaran hutan bakau, pengeprasan bukit, penebangan hutan
karet dan semacamnya seolah-olah merupakan pemandangan sehari-hari. Semuanya
dilakukan tanpa menghiraukan etika pembangunan, dan tanpa adanya rasa bersalah
di hati dan pikiran pelakunya.
Ketujuh, sesuatu yang terkadang
kontroversial, yaitu menyangkut estetika dan keindahan. Kontriversi muncul karna
adanya perbedaan persepsi tentang keindahan. Misalnya, bila diperbincangkan
tentang kampung kumuh atau pedagang kaki lima, para pejabat pemerintah biasanya
menilai bahwa kampung kumuh dan pedagang kakai lima itu semerawut, jelek, tidak
indah, mengganggu pemandangan dan merusak citra kota. Sebaliknya rakyat kecil (khususnya
t entu saja rakyat kecil dan pedagang kaki lima itu sendiri) dan para tokoh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) beranggapan bahwa keindahan kampung dan kaki
lima itu justru terletak pada kekumuhan dan kesemerawutannya. “Its beautiful
because it is ugly”, kata seorang pakar barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar